My Photo
Name:
Location: Indonesia

Pemesanan bisa dilakukan melalui : e-mail rizwananazkia@gmail.com SMS : 0811-847662 FB : rizwana & azkia

Wednesday, June 23, 2004

Yang Muda memang Selalu lebih Cantik

Prospek saham anak perusahaan Astra
Hasbi Maulana, Ahmad Febrian, Ariyanto Widhinugroho

Beberapa anak perusahaan Astra sudah menyampaikan laporan keuangan inhouse ke Bursa Efek Jakarta (BEJ). Hasilnya ada yang cemerlang, ada pula yang pas-pasan. Bagaimana prospek sahamnya?

Penampilan anak kadang lebih yahud ketimbang induknya. Dan itu terjadi pada anak-anak perusahaan Astra. Angka-angka pada baris akhir laporan rugi laba mereka lebih baik ketimbang Astra International. Kalau dalam laporan keuangan yang belum diaudit Astra International membubuhkan angka merah, anak-anak perusahaannya justru bisa menampilkan angka-angka biru.

Anda tentu telah mafhum bahwa kerugian Astra disebabkan oleh rugi kurs yang acap tidak mencerminkan sisi-sisi prestasi operasional sebuah perusahaan. Lantas, kalau begitu, apakah angka-angka bertinta biru pada laporan keuangan anak perusahaan Astra juga mencerminkan kondisi fundamental yang sesungguhnya? Bagaimana pula prospek harga saham-saham mereka di bursa? Simaklah pendapat para analis pasar modal berikut ini:

Astra Graphia (ASGR)
Perusahaan yang sering dianggap sebagai ujung tombak kelompok Astra dalam menerjuni bisnis ekonomi baru (new economy) ini diperkirakan akan berhasil menghimpun laba bersih tahun 2000 sebanyak Rp 20,160 miliar. Angka ini jauh lebih kecil ketimbang laba mereka tahun lalu yang mencapai Rp 64,681 miliar alias terjadi penurunan sebesar 68,8%.
Penurunan laba bersih yang menimpa perusahaan berkode ASGR ini sebenarnya tidak sedrastis penurunan pendapatannya. Kalau pada 1999 ASGR mampu melakukan penjualan hingga Rp 644 miliar lebih, sepanjang tahun lalu mereka hanya meraih omzet Rp 634 miliar lebih. Banyak orang memperkirakan, kemerosotan laba bersih itu disebabkan oleh rugi kurs seperti yang dialami induknya. Bedanya, kalau rugi kurs sang emak mampu menggerus semua hasil peningkatan penjualan, nasib ASGR sedikit lebih baik.

Bagaimana kinerjanya di masa depan? Menurut penuturan seorang analis, ASGR baru saja menjual anak-anak perusahaannya yang berusaha di luar bisnis inti. Anda tentu tahu bahwa bisnis inti ASGR adalah teknologi informasi (TI) dan dokumen. Otomatis, akibat penjualan itu, untuk sementara pendapatan mereka akan berkurang.

Adapun dari prospek industri, beberapa analis masih meragukan masa depan bisnis seperti yang digeluti ASGR. Penurunan penjualan tahun 2000 dibanding dengan tahun sebelumnya, bisa menjadi indikasi belum begitu cerahnya sektor TI sebagai ladang pengumpul duit di Indonesia. Erwan Teguh dari SG Securities Indonesia, misalnya, menganggap model bisnis yang digeluti ASGR belum stabil.

Karena itu, prospek jangka panjangnya juga masih patut dipertanyakan. Jatuh bangunnya beberapa perusahaan yang menggeluti bisnis TI di luar negeri bisa menjadi peringatan awal. Kendati belum tentu ASGR akan bernasib seburuk itu. Tapi, tak ada salahnya investor atau calon investor berhati-hati terhadap saham ini.

Nah, berdasar argumen tersebut, dua analis tadi menganggap saham ASGR untuk sementara ini belum layak dikoleksi. Sekalipun ada yang menaksir tahun ini pendapatannya bakal naik lagi menjadi sekitar Rp 705 miliar. Kenaikan itu mereka nilai sebagai pertumbuhan biasa. Dan yang tak kalah pentingnya, sampai saat ini belum ada kabar dan rencana baru yang bisa mendongkrak kinerja ASGR untuk meloncat lebih tinggi lagi.

Astra Otopart (AUTO)
Bagi beberapa analis, selama ini AUTO dianggap sebagai anak yang paling cemerlang dalam keluarga Astra. Sayangnya, menurut laporan keuangan inhouse yang mereka sampaikan ke BEJ, perusahaan onderdil kendaraan bermotor ini cuma mampu mendapat laba bersih Rp 106,21 miliar. Padahal, pada 1999 lalu, laba bersihnya mencapai Rp 159 miliar lebih.
Seperti halnya sang induk, yang mengalami lonjakan penjualan sepanjang 2000, omzet AUTO juga naik sekitar 40%. Kalau pada 1999 penjualan mereka mencapai 1,56 triliun, pada 2000 lalu terkerek lumayan menjadi Rp 2,1 triliun lebih.

Dibandingkan dengan perusahaan Astra yang lain, perusahaan ini dianggap cukup unggul. Menurut Erwan, AUTO adalah perusahaan onderdil kendaraan dengan harga jual paling murah ketimbang perusahaan lain di kawasan Asia Tenggara. Karena itu, AUTO memiliki peluang untuk bermain di pasar ekspor.

Di pasar ritel onderdil dalam negeri, mereka juga memiliki kekuatan tersendiri terutama setelah memiliki merek "Asphira". Akuisisi merek itu, menurut Sri Wijayaningrum dari Samuel Securities, membantu meningkatkan penjualan sekitar Rp 300 miliar lebih untuk keseluruhan tahun 2000. Selain menjadi pemasok komponen resmi dari merek-merek kendaraan tertentu, onderdil yang mereka bikin juga dijual bebas di pasar sebagai pengganti onderdil rusak.

Salah satu faktor lain yang membedakan dengan induknya, menurut Erwan, AUTO relatif lebih bebas dari pengaruh para pemilik merek dari luar negeri. Terutama Jepang. Hal itu membuat peluang untuk mengembangkan pabrik secara mandiri (tanpa bantuan teknik dari Jepang) semakin lebar. Tahun ini, mereka sudah merencanakan untuk menambah kapasitas produksi baterai (aki).

Sayangnya, seperti halnya Astra yang menjual mobil, kinerja AUTO juga sangat tergantung kepada kondisi perekonomian. Jadi, kondisi ekonomi dalam negeri masih carut-marut seperti sekarang ini ikut menentukan masa depan AUTO. Di saat rupiah terus melemah, kemungkinan pendapatan mereka dari dalam negeri akan berkurang. Maklum, sampai saat ini AUTO belum bisa mengandalkan pasar ekspor.

Di samping itu, pelemahan rupiah juga akan membuat biaya produksi naik. Ini jelas akan menggerus laba yang diperoleh. Tentu saja, mereka bisa mencoba menutupi dengan menaikkan harga jual komponen, tapi hal itu tidak bisa dilakukan dengan leluasa. Soalnya, daya beli masyarakat saat ini juga tidak terlampau kuat.

Akan halnya kemungkinan masuknya industri otomotif asing di Indonesia, menurut seorang analis dari sebuah perusahaan asing, justru akan semakin mempercerah masa depan AUTO.

Sebab, siapa pun yang masuk ke Indonesia, harus menggandengnya karena dialah yang memiliki jaringan pemasaran yang paling luas. Tanpa basa-basi, para analis merekomendasikan beli saham ini. Malah, analis yang enggan disebutkan namanya ini menganggap harga wajar AUTO adalah Rp 2.000 per saham, masih lebih tinggi dari harganya saat ini (1/4) yang baru mencapai Rp 1.375.

Astra Agrolestari (AALI)
Masalah terbesar perkebunan sawit ini adalah turunnya harga crude palm oil (CPO) di pasar dunia yang menjadi komoditas andalan mereka. Biasanya, menurut Sri Wijayaningrum dari Samuel Securities, harga CPO mencapai US$ 450 per ton. Tapi, kini sudah anjlok hingga US$ 190-US$ 200 per ton.

Akibat penurunan tersebut, proyek besar AALI untuk membuat ladang kelapa sawit terbesar, yang dicanangkannya sejak tahun lalu, praktis nyaris gagal. Konon, program ini dipersiapkan untuk menyaingi ladang kelapa sawit milik Grup Sinar Mas. Dari target 20.000 hektare ladang kelapa sawit yang ingin dicapai setiap tahun, realisasinya baru sekitar 7.000 hektare.

Selain masalah harga jual, tahun ini industri CPO juga terancam oleh kemungkinan datangnya kemarau yang disebabkan oleh El Nino. Kurangnya hujan akan membuat panen sawit berkurang. Namun, kondisi itu, menurut analis yang biasa dipanggil Nining ini, justru bisa menguntungkan perusahaan-perusahaan perkebunan sawit termasuk AALI. Pasalnya, kurangnya panen akan membuat pasokan CPO di pasar juga berkurang. Dengan begitu, kemungkinan besar harga CPO juga akan terangkat kembali. Kendati demikian, Nining tak yakin target manajemen untuk menaikkan pendapatan sampai 20% akan tercapai.

Dari laporan keuangan inhouse yang mereka sampaikan ke bursa, pendapatan AALI sampai akhir 2000 mencapai Rp 1,41 triliun dengan laba bersih Rp 70 miliar. Karena itu, menurut Nining, harga AALI sekarang yang cuma RP 625 termasuk murah. Tapi, mengingat faktor keamanan, risiko dampak kebijakan otonomi daerah, cuaca, serta harga CPO yang masih drop, boleh jadi harga saham AALI sekarang sudah tergolong cukup mahal.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home