My Photo
Name:
Location: Indonesia

Pemesanan bisa dilakukan melalui : e-mail rizwananazkia@gmail.com SMS : 0811-847662 FB : rizwana & azkia

Wednesday, June 23, 2004

Tenang, tak Perlu Grasa-grusu

Dampak melemahnya dolar terhadap emiten eksportir
Hasbi Maulana, Titis Nurdiana, Ariyanto Widhinugroho

Akibat dolar melemah, kinerja perusahaan yang berorientasi ekspor bisa terancam. Tapi, tidak berarti semua saham mereka kudu buru-buru dilepas. Selain bisa menjadi sarana diversifikasi investasi, dampak yang menimpa mereka belum tentu sama bobotnya.

Berkat dolar melemah, banyak wajah investor yang cerah. Tapi, tak sedikit pula roman pemodal yang dulu ceria kini malah cemberut. Mereka adalah investor yang memiliki saham perusahaan yang berorientasi ekspor. Maklum, pendapatan mereka—jika dihitung dalam rupiah—bisa tergerus oleh perbedaan kurs. Beberapa emiten sudah menyiapkan payung untuk menyelamatkan penjualan mereka.

Sementara itu, sebagian lain masih bersikap tenang karena kebetulan terlindungi oleh membaiknya harga jual produk mereka. Jadi, memang banyak yang perlu dipertimbangkan sebelum terburu-buru melego saham mereka.

Salah satu perusahaan yang sedang harap-harap cemas melihat penguatan rupiah adalah Daya Samudera Fishing Industries (DSFI). Perusahaan pengolah ikan yang mengekspor seluruh produknya ini sedang bersiap-siap memperlaju volume penjualan jika dolar berhasil menembus di bawah Rp 8.000 per dolar AS. ”Kami harus menambah kuantitas penjualan hingga 30% lagi,” kata Michael Hanindya, Corporate Secretary DFSI. Salah satu produk yang akan diandalkan untuk mendongkrak penjualan adalah fish fillet yang kontribusinya terhadap omzet mencapai 70%. ”Inilah yang akan kami dongkrak,” lanjut Michael. Adapun kemungkinan melakukan penyelamatan dengan menaikkan harga jual dari harga rata-rata saat ini yang US$ 4 per kilogram belum mereka putuskan. ”Kalau volume penjualan bisa ditingkatkan 30%, revisi harga belum perlu dilakukan,” ungkap Michael.

Menurut Fitri Murniawati, analis dari BNI Securities, sejak kuartal pertama sebenarnya sudah bisa diduga kinerja DSFI sangat rentan terhadap melemahnya dolar. Waktu itu mereka mengalami penurunan volume penjualan, namun secara keseluruhan pendapatan dari penjualan malah naik. Penyebab utamanya, menurut Fitri, mereka tertolong oleh menguatnya dolar. Jadi, ketika kini terjadi sebaliknya, ya wajar bila mereka berusaha menggenjot lagi volume penjualan. Makanya, Fitri memperkirakan, sampai akhir tahun nanti DSFI bakal mengalami penurunan pendapatan sampai 10%. Berbeda dengan Michael yang merasa masih aman dengan kurs Rp 8.000-an per dolar AS, Fitri menghitung dengan kurs sekitar Rp 8.000–Rp 9.000 per dolar AS saja target pendapatan DSFI yang Rp 32 miliar tidak akan tercapai.

AALI diselamatkan kenaikan harga
Bagi Ben Santosa, analis dari Danareksa Sekuritas, penguatan rupiah tidak lantas membuat setiap emiten yang berorientasi ekspor terpukul. Hal seperti ini terjadi pada perkebunan kelapa sawit Astra Agro Lestari (AALI). Semula, perusahaan ini melakukan perhitungan proyeksi dengan bersandar pada patokan kurs Rp 10.500 per dolar AS. Ketika dolar sempat menguat hingga hampir Rp 12.000-an, mestinya mereka diuntungkan. Sayang, pada saat itu harga CPO justru sedang anjlok-anjloknya: cuma sekitar US$ 250 per ton.

Kini dolar memang melemah, namun harga CPO juga sudah naik menjadi US$ 360 per ton. Singkat kata, penurunan nilai penjualan akibat melemahnya rupiah bisa diimbangi dengan kenaikan harga CPO dalam dolar. ”Posisi arus kas AALI masih positif,” kata Ben.
Pendapat yang sama dilontarkan Sri Wijayaningrum dari Samuel Sekuritas. Hanya, menurutnya, itu disebabkan mayoritas penjualan AALI dalam rupiah. Selain itu, lantaran penjualan CPO oleh AALI dilakukan dengan lelang, harga yang diperoleh masih menguntungkan. Kendati begitu, pengaruh yang jelas terasa bagi AALI adalah menyangkut target ekspor. Tahun ini sebenarnya mereka sudah memasang target ekspor CPO sebesar 40% dari total produksi mereka. ”Berkait dengan penguatan rupiah kali ini, target itu bakal berat untuk dicapai,” ujar Nining, panggilan akrab analis ini.

Nah, itu sekadar contoh dampak menguatnya dolar terhadap emiten yang berorientasi ekspor. Masih-masing perusahaan memang tidak menanggung akibat yang sama. Namun, menurut analis saham Goei Siauw Hong, tetap tak ada jeleknya menjadikan saham-saham seperti itu sebagai sarana diversifikasi investasi. Hitung-hitung sebagai sarana lindung nilai alias hedging jika ternyata penguatan rupiah—semoga saja tidak—hanya sementara.

1 Comments:

Blogger Rizwana & Azkia said...

Sumbernya ditulis dong ma... harian apa tanggal berapa, kalo masih bisa dilacak.

June 23, 2004 at 1:23 PM  

Post a Comment

<< Home